Kamis, 23 Desember 2010

Aktivis, mahluk apa sih?



Karikatur Milik Jawapos

Beberapa hari yang lalu, ada mahasiswa yang mengaku aktivis melakukan penurunan bendera (http://nasional.vivanews.com/news/read/192948-turunkan-bendera-di-kpk--aktivis-hmi-dibekuk). Seorang rekan saya menshare link tersebut di FB, dan begitu ramainya orang berkomentar termasuk saya. Komentar saya sederhana "Sebagai warga negara saya merasa terhina karena lambang negara saya diperlakukan seperti itu, dan hanya aktivis g****k yang berbuat seperti itu, tidak mengerti cara bernegara". Dan ada seorang aktivis perempuan yg berbeda pendapat dengan saya, tapi sungguh sayang, selain sanggahanya yang tidak logis, perkataanya dimulai dengan "Hei... kamu jangan asal bicara, kamu tahu saya juga aktivis", sedih saya mendengarnya. Sebagai aktivis (menurut KBBI, aktivis adalah orang yg bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dl organisasinya) seharusnya mempunyai sedikit sopan santun, apalagi dia mahasiswa (maha=tingkatan tertinggi, siswa=orang yang belajar) tentunya harus mempunyai budi pekerti yang diatas rata2, termasuk dalam berbahasa.

Ada banyak jenis aktivis di negeri ini, yang murni memperjuangkan nasib rakyat, yang menutupi keborokan bapaknya yg korup, atau aktivis yang hanya mencari sesuap nasi. Teringat saya ke 10 tahun yang lalu ketika masih mahasiswa, berteman dan berjuang dengan aktivis lain. Waktu itu karena tekanan yg cukup kuat dr dekanat, membuat saya keluar Univ dan pindah kuliah, sementara teman saya pindah ke Univ lain dan tetap beraktivis. 2 tahun kemudian, saya ketemu dia, dari orang yg biasa2 ternyata sudah berubah menjadi seorang yg cukup kaya. Jujur saya heran, mahasiswa kok bisa banyak duit (jaman itu belum rame yg namanya entrepreneur). Setelah ngobrol cukup lama, ternyata dia sebagai aktivis nyambi UUD (Usaha Urusan Demo), rata2 setiap ada demo suka ada penyandang dana, minimal untuk makan siang, dia sebagai ketua BEM tentu punya posisi tawar karena punya massa sehingga bisa meminta dana lebih. Selain menyisihkan dr anggaran demo, ternyata setiap Kepala Daerah akan menyampaikan LPJ, dia, dan BEM dari Univ yang lain diundang oleh Kepala Daerah tersebut, dijamu di hotel, di berikan "layanan", dan tentu saja "sedikit" kadeudeuh. Dari sini ternyata kekayaan itu berasal.

Tapi itu kan hanya oknum, yang tidak mencerminkan aktivis yang sebenarnya.
Selain jenis oknum dan aktivis baik, ternyata ada aktivis bodoh, ya seperti yang menurunkan bendera itu. Aktivis ini ternyata cukup banyak di Indonesia, mereka begitu mudah terprovokasi, berbuat onar, dan hanya menuai kecaman, bukan simpati. Seharusnya sebelum berdemo, dia membaca aturan atau Undang-undang yang berlaku, supaya tidak berbuat seperti itu. Contoh lainnya adalah aktivis yang berdemo sambil merusak, seperti yang sering kita lihat di TV, menghancurkan bangunan pemerintah, membakar rektorat, atau memblokir jalan. kalau kita hitung secara ekonomi, berapa kerugian negara akibat kerusakan infrastruktur(yg notabene uang pajak), belum kerugian ekonomi akibat kemacetan; kontrak yg gagal karena macet, pegawai yg dipecat/ditegor, sopir angkot/bus/metromini yang nombok setoran, dan BBM yang terbuang. Nah aktivis bodoh tidak pernah menghitung ini, sehingga "kritisme" mereka telah menghalangi orang lain bernafkah (menurut saya, ini tidak lebih baik dari KORUPTOR).

Ada jenis lain lagi, yaitu aktivis asbun (asal bunyi), ini kalau kata orang sunda disebut bodoh katotoloyo. Aktivis ini lebih sering mengkritisi kebijakan pemerintah. Contohnya tentang penanganan sampah di kota X, mereka mengkritisi proyek Waste2Energy. Tapi ketika mereka ditanya "kalau menurut saudara kurang tepat, terus apa solusinya" mereka diam atau mengatakan,"Pemerintah yg harusnya mencari solusinya", lucu. Harusnya ketika bisa menyalahkan berarti bisa memberi solusi, kalau tidak tau lebih baik diam (kata TransTV, kalau asal jangan usul, kalau usul jangan asal). Atau kadangkala solusi yang diberikan tidak bisa diterapkan karena terbentur aturan (aturan negara dibuat atas kesepakatan rakyat yg diwakili wakil rakyat dengan pemerintah, jadi kalau tidak setuju bilang ke wakil rakyatnya). Mungkin perlu diketahui, bahwa di pemerintahan bukan lagi mahasiswa, tp dr SMA, S1, S2, S3, bahkan profesor. Mereka mungkin sudah membaca ratusan atau ribuan buku tentang kebijakan, dan berdiskusi untuk menghasilkan kebijakan yang paling tepat. Kebijakan dalam bernegara adalah bagaimana mengakomodasi kepentingan rakyat untuk jangka panjang, bukan keinginan sesaat atau solusi prematur. So, be smart, banyak membaca sebelum berbicara.
Jenis yang keempat, adalah aktivis tukang becak. Kenapa disebut tukang becak, karena saya mendapat benang merah dari kelakuan tukang becak dengan kelakuan aktivis jenis ini. Suatu saat saya melihat tukang becak sedang mengayuh becaknya dengan membawa penumpang, tiba2 lewat rombongan Gubernur dengan pengawalan sehingga semua pengguna jalan harus minggir, termasuk tukang becak. Setelah rombongan lewat, si tukang becak mengepal sambil bilang "goblog siah", langsung saja penumpang tersebut minta berhenti dan membayar tukang becak sambil berkata "Kalau tidak ada pejabat negara, uang yang saya bayarkan ini hanya akan jadi kertas tidak berharga". Tentunya kita ingat pelajaran SD/SMP bahwa salah satu syarat negara adalah ada pemerintah, dan uang yg kita pakai bisa laku karena dijamin oleh pemerintah (Negara). Kelakuan aktivis jenis ini dicontohkan oleh yang membawa kerbau pas demo, Kalau kita saja tidak menghormati Pejabat negara apalagi bangsa lain, sehingga wajar kalau kita kurang dihormati/ dipercaya bangsa luar, contohnya dengan nilai tukar Rupiah yang lemah dan posisi tawar yg lemah dalam diplomasi luar negeri. Contoh yang lain adalah ketika ada tuntutan menteri pakai mobil Kijang saja, jangan Camry, apa jadinya ketika rapat dengan pejabat atau pengusaha, baik di dalam atau diluar negeri, belum apa2 sang menteri sudah dianggap sebelah mata. Pembuktian yang sangat nyata (ga semua sih, tapi mayoritas) kalau anda ngapel jalan kaki/pake motor dan pake mobil, gmana tanggapan camer, beda kan, hehe)
Kesimpulan dr cerita ini adalah ada 4 jenis aktivis; aktivis baik, oknum aktivis, aktivis asbun, dan aktivis tukang becak. Yang manakah anda?
Ini adalah opini saya pribadi (sesuai UUD, bahwa setiap warga negara berhak mengeluarkan pendapat). Tidak ada upaya untuk menyudutkan, kalau anda sebagai aktivis tidak seperti itu tentunya tidak usah marah karena dalam cerita ini bukan anda :) Dan jika anda mempunyai perbedaan pandangan(yang logis tentunya), silahkan disampaikan tanpa perlu menyudutkan pihak lain.

PS. Sebenarnya, Negara ini sudah memiliki mekanisme untuk penyampaian aspirasi, kalau anda tidak puas dengan kinerja pemerintah, silahkan sampaikan aspirasi anda ke wakil anda di dewan (DPR/DPRD). Kalau seandainya wakil anda tidak mendengar, salah siapa memilih wakil yang tuli. Demikian juga dengan Kepala Daerah/Negara, rakyat juga yang memilih. Sesuai teori statistik, kalau ada 1kg beras dicampur 10kg gabah, coba ambil sejumput, dipastikan lebih banyak gabah yang terambil. Jadi jangan menuntut pemimpin anda cerdas, kalau anda belum bisa cerdas dalam memilih, karena rakyat yang kurang cerdas akan memilih pemimpin yang kurang cerdas juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Use wisely